Kamis, 24 Desember 2009

Progresivitas Islam Dalam Sosial Dan Politik Indonesia

Nilai Islam Tentang Kebangsaan

Islam adalah agama progresif. Dengan progresifnya, Islam mampu menyumbangkan nilai bukan hanya untuk masalah keakhiratan tetapi juga masalah keduniaan. Bahkan secara rinci dalam ruang lingkup keduniaan, Islam mengatur dengan lengkap misalnya tentang ekonomi, politik dan budaya. Sakralitas Islam tidak mendikotomikan masalah bumi dan langit. Pada zaman Muhammad telah terbukti bahwa misi Islam selain sebagai misi dakwah kerohanian tetapi juga misi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Muhammad membawa tatanan baru yang jelas-jelas dibimbing oleh wahyu sehingga kaum Quraish merasa terganggu dengan kedatangan dakwahnya. Kelompok Quraish bukan hanya sebagai suku tetapi juga tatanan nilai di mana ada tatanan ekonomi, politik dan budaya yang jelas jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (jahiliyah). Inilah alasan logis kenapa dakwah Muhammad ditolak dan dibenci kaum Quraish. Jawabannya adalah karena Muhammad membawa nilai baru yang mengarah kepada nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).

Kritisisme dalam Islam ada dalam idealis ajarannya. Seperti kita ketahui dalam ajaran apapun, nilai atau esensi selalu lahir berikut ajarannya. Nilai memiliki karakter yang sempurna, seolah kalau diaplikasikan dalam tatanan praktis akan sulit diterapkan dan dalam perkembangannya akan mengalami penyesuaian-penyesuaian. Begitupula Islam yang diposisikan sebagai nilai, jika diabaikan esensinya maka Islam hanya berdiri sebagai simbol dan itu tidak ada maknanya bagi perubahan. Karena Islam harus maslahat bagi umat manusia secara keseluruhan, maka Islam tidak menafikan masalah pengaturan ekonomi, politik dan budaya.[1]

Jika bicara masalah budaya, Islam mengandung unsur budaya. Dalam perkembangan Islam, Muhammad hanya merubah atau menata budaya yang dengan jelas bertentangan dengan misi Islam, misalnya pesta pora yang berlebihan dengan minum minuman keras, tukar menukar perempuan untuk kepuasan sek. Ini semua terjadi pada zaman Muhammad dan ini pula yang harus dibenahi oleh ajaran Islam. Budaya yang positif seperti saembara syair, Muhammad tidak pernah mempermasalahkannya karena dia yakin bahwa itu hasil dari rasa dan karsa masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang memiliki penduduk yang heterogen termasuk masalah budaya, Islam yang dihadirkan harus Islam yang mengakui pluralitas, Islam yang mengakui budaya lokal, selama budaya tersebut tidak melanggar nilai-nilai asasi. Lihat saja perkembangan sejarah gerakan-gerakan Islam di Indonesia pasti mengalami perubahan karena Indonesia memiliki kultur lokal yang kuat dan bermacam-macam. Dalam permasalahan partai Islam di Indonesia, karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan atau perkumpulan-perkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukan ke dalam undang-undang dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerikapun ada orang yang ingin agar undang-undang dasarnya diubah menjadi undang-undang dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak ?[2]

Kemudian kita lihat dalam perkembangan partai-partai sekuler seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat dll, ternyata kekuatan partainya tidak lepas dari kekuatan nalar agama. Nilai religius tidak dapat dipisahkan dari peran kebangsaan, terutama nilai Islam. Kita mengenal Soekarno dan Mohamad Hatta yang memimpin gerakan nasionalisme Indonesia, Alimin dan Nyoto yang memimpin gerakan komunis Indonesia, Sutan Syahrir yang memimpin gerakan sosialisme Indonesia dan Agus Salim yang memimpin gerakan Islamisme Indonesia. Dalam memperjuangkan ideologi masing-masing, mereka secara sadar tidak memisahkan nalar agama dan urusan kebangsaan karena pada dasarnya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua tokoh-tokoh itu menjadi anak didik Tjokroaminoto di mana dasar agama menjadi topik didikannya.

Sosialisme Islam Untuk Negara Kesejahteraan Dalam Konteks Indonesia

Tiga agama besar samawi yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam membawa ajaran sosialisme, para cendekiawan muslim menyebutnya dengan sosialisme purba. Sosialisme purba yang diajarkan agama samawi terutama Islam, mengajarkan tentang kesejahteraan atau jaminan hidup. Sosialisme purba mengajarkan tentang nilai kesetaraan tidak hanya dalam konteks martabat kemanusiaan di hadapan Tuhan tetapi juga dalam konteks kehidupan ril sehari-hari yang kaitannya dengan kesejahteraan. Dalam konsep sosialisme purba, manusia tidak boleh mengkooptasi atau menjajah manusia lain, apapun bentuknya. Soekarno dari sejak muda telah berfikir tentang penjajahan manusia lain dan ini yang ditentang habis oleh Belanda.

Dalam perkembangan ideologi-ideologi besar seperti Islamisme, komunisme, sosialisme dan kapitalisme, semuanya memiliki selubung ideologi yang dasar alamiahnya adalah kepentingan. Masing-masing punya nilai dan nilai-nilai itu seolah menuju satu titik yaitu peradaban manusia. Dalam realitasnya, setiap ideologi membawa risiko masing-masing. Komunisme di Rusia misalkan, runtuh karena tidak memperhitungkan penyesuaian-penyesuaian di dalamnya sehingga mengalami kekacauan (keropos) dari dalam. Rezim komunis di Rusia memaksakan kehendak untuk menyamaratakan hak kepemilikan. Kemudian pengalaman ideologi Islam ketika diterapkan dalam tataran politik, terjebak ke dalam totalitarianisme dan ini terjadi pada kekhalifahan Bani Umayah dan Abasiah. Dalam dunia kapitalisme sekarang sudah jelas lebih carut-marut lagi, manusia mengeksploitasi manusia lain dan ini cukup terselubung, seolah membawa kemajuan semua manusia padahal pada kenyataannya menghancurkan peradaban. Dapat kita lihat akibatnya, hutan ditebang sebebasnya oleh konglomerat hitam yang mengakibatkan longsor dan banjir, terancamnya lingkungan hidup karena kehadiran pabrik-pabrik bersekala besar, belum lagi bencana-bencana lain yang berupa ancaman psikologis.

Kapitalisme ditandai dengan modernitas yang seolah menitikberatkan pada rasionalitas padahal secara esensi kembali pada keirasionalan. Logika keirasionalan dapat digambarkan dengan pengeksploitasian kaum buruh, terformalisasinya aktivitas manusia sehingga manusia cenderung diatur dengan sistem dan waktu, manusia jadi terikat dengan sesuatu yang dia tidak kehendaki. Menurut Jurgen Habermas, di dalam masyarakat tradisional terdapat kaitan yang khusus antara kerangka kerja institusional dan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan. Perkembangan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan dijaga di dalam batas-batas legitimasi tradisi-tradisi kebudayaan. Apa yang oleh Karl Marx disebut kekuatan-kekuatan produksi, di dalam masyarakat tradisional, masih di kebawahkan terhadap kerangka kerja institusional, yaitu penafsiran-penafsiran mitis, religius dan metafisis terhadap kenyataan.[3]

Melihat kenyataan itu, banyak kekurangan yang diterapkan sistem kapitalisme. Kaitannya dengan kompleksitas ideologi, Indonesia merupakan negara yang tidak jelas ideologinya. Indonesia bukan Negara sosialis karena pemilik modal baik asing maupun pribumi sangat mendominasi. Disebut Negara kapitalis juga tidak, karena Indonesia menganut ideologi Pancasila yang didengung-dengungkan pro sosial. Tetapi yang jelas masyarakat kita masih jauh dari kesejahteraan, ekonomi Indonesia masih belum pro rakyat, pembangunanpun masih dirasakan oleh kalangan menengah ke atas.

Dari sisi demokrasi, Indonesia akan mengalami pencerahan. Semua pihak sudah mulai terlihat eksistensinya baik dalam politik atau dalam bidang pembangunan. Dan yang paling mengagumkan dari demokrasi Indonesia adalah berdasar pada ke Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan pemahaman falsafah ke Tuhanan serta lebih lagi Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, tidak mungkin melepaskan nilai-nilai dasar keagamaan terutama Islam.

Masyarakat muslim Indonesia memunculkan Islam sebagai moderasi kehidupan karena dari sejak awal pemahaman Islam telah dibangun di atas pondasi pluralitas budaya. Terlebih lagi Islam dipahami umatnya di Indonesia selain sebagai ajaran tetapi juga tata nilai untuk segala sisi kehidupan termasuk masalah kenegaraan. Dalam konteks ini, Islam Indonesia tidak harus menjadi bendera yang dikerek oleh kelompok kemapanan Islam yang akhirnya memaksakan Islam supaya diterapkan secara formal dalam bentuk Negara Islam. Bagi Indonesia, tipe Negara Islam jelas tidak cocok karena terputus dari rantai sejarah dan budaya. Kita lihat kelompok militansi Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pasti mengalami pembaharuan dalam gerakannya karena tuntutan penyesuaian, kultur dan nalar agama masyarakat. Dalam hukum sejarah, seringkali idealisme formal agama tidak terlepas dari kepentingan penguasa. Padahal penguasa bukan representasi masyarakat. Karenanya, tipe gerakan seperti ini dituntut untuk mengadakan pembaharuan.

Indonesia bukan Negara Islam dan perjuangan mengarah ke Negara Islam pun berat diaplikasikan tetapi Indonesia adalah Negara yang berketuhanan, yang begitu kuat menggunakan nalar keagamaan terutama nalar Islam. Masyarakat Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Islamnya memiliki nalar agama yang kuat. Selain itu, nalar agama juga terpatri dalam nalar budaya. Kekuatan ini bisa diandalkan guna menghimpun kekuatan untuk membangun sikap kritis yang konstruktif terhadap pemegang kekuasaan karena bagaimanapun kekuasaan itu dekat dengan korup. Selain itu, nalar Islam tentang kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat harus diaplikasikan. Tetapi sayangnya di Indonesia kekuatan-kekuatan masa yang berbasis agama masih terlalu didominasi oleh orang-orang yang berkepentingan. Partai-partai Islam hanya bicara berkutat di sekitar ideologi dan formalisasi syariah sementara esensi dari ajaran Islam tentang keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan tidak diaplikasikan.



[1] Yang dimaksud oleh penulis bahwa Islam tidak terpisahkan dari ajaran masalah ekonomi, politik dan budaya adalah Islam memiliki nilai yang sempurna tentang ekonomi, politik dan budaya. Nilai pada esensinya memiliki sifat kritis terhadap realitas termasuk mengenai kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, sangat tidak mungkin kekuatan nalar agama dipisahkan dari permasalahan kebangsaan termasuk di dalamnya masalah ekonomi, politik dan budaya.

[2] Wahid, A, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta, The Wahid Institute, 2006, cet. II, hal. 51.

[3] Hardiman, FB, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Jogjakarta, Penerbit Buku Baik, 2003, hal. 106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar