Kamis, 07 Januari 2010

Menggugat UU BHP

Oleh: Jhon Rivel Purba*


Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, ketakutan, kemiskinan, penindasan, dan permasalahan lain yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Artinya pendidikan hadir untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak terlepas dari peran pendidikan yang telah membentuk kesadaran kritis melihat persoalan yang ada. Kesadaran tersebut menjadi api perjuangan membebaskan rakyat yang tertindas akibat penjajahan. Setelah negeri ini merdeka, para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan sangat penting dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sehingga salah satu cita-cita kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pendidikan adalah hak warga negara, tanpa memandang status, termasuk status ekonomi.

Negara harus memudahkan masyarakat mendapat pendidikan bermutu, ilmiah dan demokratis. Memang tidak sedikit upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan kita. Namun kalau kita melihat secara kritis, upaya tersebut seringkali tidak mempunyai pijakan yang jelas, tujuan yang kabur, target yang tidak logis, cara yang salah, pengelolaan yang amburadul, sehingga hasilnya pun tidak jelas juga.


UU BHP: Bukan Solusi

Di tengah-tengah kebobrokan sistem pendidikan Indonesia, pemerintah kembali menawarkan solusi perbaikan pendidikan. Setelah sekian lama pemerintah gonta-ganti kebijakan, yang tidak pernah mampu menjawab persoalan pendidikan, akhirnya pada 17 Desember 2008, disahkan UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, atau disingkat dengan UU BHP.

Undang-undang ini menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sebelum disahkan, sudah banyak aksi protes yang disuarakan oleh tokoh pendidikan, mahasiswa, LSM, dan pihak yang peduli terhadap pendidikan. Sialnya, pemerintah bersama legislatif tetap mensahkannya, dan terkesan buru-buru.

Aksi penolakan UU BHP akhir-akhir ini mulai menurun karena perhatian masyarakat terfokus pada pemilu 2009. Padahal, persoalan pendidikan adalah hal yang paling penting dan mendesak segera diatasi. Pendidikanlah dasar pembangunan negara. Sementara pemilu hanyalah pertarungan kekuasaan yang dinikmati segelintir orang, yaitu penguasa dan pemodal.

Ada beberapa alasan menggugat UU BHP. Pertama, UU BHP bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang ini merupakan turunan dari pasal 53 UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Pemerintah harus memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara dan memenuhi anggaran 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan. Anggaran pendidikan yang 20 persen tidak ada ditatur dalam UU BHP.

Kedua, tidak bisa menjawab persoalan pendidikan. UU BHP hanya membahas masalah-masalah teknis dalam pendidikan, yaitu pendanaan. Padahal yang terpenting dalam lembaga pendidikan adalah bagaimana menghasilkan subjek-subjek sadar yang mempunyai semangat nasionalisme, kepedulian sosial, kemandirian, dan karakter yang baik. Tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan koruptor, politisi busuk, penjahat HAM, pelaku kekerasan. Namun, mengapa banyak di negeri ini orang seperti itu? Hal tersebut jelas-jelas kegagalan lembaga pendidikan, dan inilah yang harus diperbaiki.

Ketiga, melegalisasi komersialisasi pendidikan. Otonomi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan ini akan semakin memperlebar kesenjangan dalam dunia pendidikan kita. Lembaga pendidikan akan berlomba-lomba mencari dana guna mempertahankan dan mengembangkan lembaganya masing-masing. Lembaga pendidikan yang tidak mampu bersaing akan bubar sendiri atau menggabungkan diri dengan BHP yang lain.

Komersialisasi pendidikan sudah terjadi pada beberapa PTN yang berstatus PT BHMN sejak 1999. Hal ini sangat jelas terlihat dalam penerimaan mahasiswa baru, penggunaan fasilitas kampus, dan pengelolaan usaha. Kampus membuka jalur-jalur khusus seperti jalur mandiri, internasional dan jalur lain dengan biaya kuliah yang sangat mahal. Tentunya orang yang bisa mengikutinya hanyalah orang-orang kaya. Semakin besar mahasiswa yang diterima melalui jalur khusus tersebut maka semakin kecil kesempatan orang menengah ke bawah mengakses pendidikan.

Fasilitas kampus yang seharusnya diperuntukkan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitas berubah fungsi menjadi alat mencari keuntungan. Fasilitas dijadikan barang dagangan melalui penyewaan yang cukup memberatkan mahasiswa. Selain itu, kampus lebih disibukkan mencari keuntungan melalui usaha yang dikelolanya daripada mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Hal ini juga terjadi di USU yang resmi menjadi PT BHMN sejak tahun 2003.

Kondisi di atas akan semakin parah dengan diberlakukannya UU BHP. Kebijakan ini bukanlah solusi melainkan malapetaka dalam dunia pendidikan kita. Untuk itu, UU BHP harus dicabut kembali karena bertentangan dengan konstitusi dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Seandainya, Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, masih hidup, mungkin dia akan marah dan menangis menyaksikan kondisi pendidikan saat ini, termasuk dengan disahkannya UU BHP.


Kamis, 24 Desember 2009

Progresivitas Islam Dalam Sosial Dan Politik Indonesia

Nilai Islam Tentang Kebangsaan

Islam adalah agama progresif. Dengan progresifnya, Islam mampu menyumbangkan nilai bukan hanya untuk masalah keakhiratan tetapi juga masalah keduniaan. Bahkan secara rinci dalam ruang lingkup keduniaan, Islam mengatur dengan lengkap misalnya tentang ekonomi, politik dan budaya. Sakralitas Islam tidak mendikotomikan masalah bumi dan langit. Pada zaman Muhammad telah terbukti bahwa misi Islam selain sebagai misi dakwah kerohanian tetapi juga misi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Muhammad membawa tatanan baru yang jelas-jelas dibimbing oleh wahyu sehingga kaum Quraish merasa terganggu dengan kedatangan dakwahnya. Kelompok Quraish bukan hanya sebagai suku tetapi juga tatanan nilai di mana ada tatanan ekonomi, politik dan budaya yang jelas jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (jahiliyah). Inilah alasan logis kenapa dakwah Muhammad ditolak dan dibenci kaum Quraish. Jawabannya adalah karena Muhammad membawa nilai baru yang mengarah kepada nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).

Kritisisme dalam Islam ada dalam idealis ajarannya. Seperti kita ketahui dalam ajaran apapun, nilai atau esensi selalu lahir berikut ajarannya. Nilai memiliki karakter yang sempurna, seolah kalau diaplikasikan dalam tatanan praktis akan sulit diterapkan dan dalam perkembangannya akan mengalami penyesuaian-penyesuaian. Begitupula Islam yang diposisikan sebagai nilai, jika diabaikan esensinya maka Islam hanya berdiri sebagai simbol dan itu tidak ada maknanya bagi perubahan. Karena Islam harus maslahat bagi umat manusia secara keseluruhan, maka Islam tidak menafikan masalah pengaturan ekonomi, politik dan budaya.[1]

Jika bicara masalah budaya, Islam mengandung unsur budaya. Dalam perkembangan Islam, Muhammad hanya merubah atau menata budaya yang dengan jelas bertentangan dengan misi Islam, misalnya pesta pora yang berlebihan dengan minum minuman keras, tukar menukar perempuan untuk kepuasan sek. Ini semua terjadi pada zaman Muhammad dan ini pula yang harus dibenahi oleh ajaran Islam. Budaya yang positif seperti saembara syair, Muhammad tidak pernah mempermasalahkannya karena dia yakin bahwa itu hasil dari rasa dan karsa masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang memiliki penduduk yang heterogen termasuk masalah budaya, Islam yang dihadirkan harus Islam yang mengakui pluralitas, Islam yang mengakui budaya lokal, selama budaya tersebut tidak melanggar nilai-nilai asasi. Lihat saja perkembangan sejarah gerakan-gerakan Islam di Indonesia pasti mengalami perubahan karena Indonesia memiliki kultur lokal yang kuat dan bermacam-macam. Dalam permasalahan partai Islam di Indonesia, karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan atau perkumpulan-perkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukan ke dalam undang-undang dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerikapun ada orang yang ingin agar undang-undang dasarnya diubah menjadi undang-undang dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak ?[2]

Kemudian kita lihat dalam perkembangan partai-partai sekuler seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat dll, ternyata kekuatan partainya tidak lepas dari kekuatan nalar agama. Nilai religius tidak dapat dipisahkan dari peran kebangsaan, terutama nilai Islam. Kita mengenal Soekarno dan Mohamad Hatta yang memimpin gerakan nasionalisme Indonesia, Alimin dan Nyoto yang memimpin gerakan komunis Indonesia, Sutan Syahrir yang memimpin gerakan sosialisme Indonesia dan Agus Salim yang memimpin gerakan Islamisme Indonesia. Dalam memperjuangkan ideologi masing-masing, mereka secara sadar tidak memisahkan nalar agama dan urusan kebangsaan karena pada dasarnya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua tokoh-tokoh itu menjadi anak didik Tjokroaminoto di mana dasar agama menjadi topik didikannya.

Sosialisme Islam Untuk Negara Kesejahteraan Dalam Konteks Indonesia

Tiga agama besar samawi yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam membawa ajaran sosialisme, para cendekiawan muslim menyebutnya dengan sosialisme purba. Sosialisme purba yang diajarkan agama samawi terutama Islam, mengajarkan tentang kesejahteraan atau jaminan hidup. Sosialisme purba mengajarkan tentang nilai kesetaraan tidak hanya dalam konteks martabat kemanusiaan di hadapan Tuhan tetapi juga dalam konteks kehidupan ril sehari-hari yang kaitannya dengan kesejahteraan. Dalam konsep sosialisme purba, manusia tidak boleh mengkooptasi atau menjajah manusia lain, apapun bentuknya. Soekarno dari sejak muda telah berfikir tentang penjajahan manusia lain dan ini yang ditentang habis oleh Belanda.

Dalam perkembangan ideologi-ideologi besar seperti Islamisme, komunisme, sosialisme dan kapitalisme, semuanya memiliki selubung ideologi yang dasar alamiahnya adalah kepentingan. Masing-masing punya nilai dan nilai-nilai itu seolah menuju satu titik yaitu peradaban manusia. Dalam realitasnya, setiap ideologi membawa risiko masing-masing. Komunisme di Rusia misalkan, runtuh karena tidak memperhitungkan penyesuaian-penyesuaian di dalamnya sehingga mengalami kekacauan (keropos) dari dalam. Rezim komunis di Rusia memaksakan kehendak untuk menyamaratakan hak kepemilikan. Kemudian pengalaman ideologi Islam ketika diterapkan dalam tataran politik, terjebak ke dalam totalitarianisme dan ini terjadi pada kekhalifahan Bani Umayah dan Abasiah. Dalam dunia kapitalisme sekarang sudah jelas lebih carut-marut lagi, manusia mengeksploitasi manusia lain dan ini cukup terselubung, seolah membawa kemajuan semua manusia padahal pada kenyataannya menghancurkan peradaban. Dapat kita lihat akibatnya, hutan ditebang sebebasnya oleh konglomerat hitam yang mengakibatkan longsor dan banjir, terancamnya lingkungan hidup karena kehadiran pabrik-pabrik bersekala besar, belum lagi bencana-bencana lain yang berupa ancaman psikologis.

Kapitalisme ditandai dengan modernitas yang seolah menitikberatkan pada rasionalitas padahal secara esensi kembali pada keirasionalan. Logika keirasionalan dapat digambarkan dengan pengeksploitasian kaum buruh, terformalisasinya aktivitas manusia sehingga manusia cenderung diatur dengan sistem dan waktu, manusia jadi terikat dengan sesuatu yang dia tidak kehendaki. Menurut Jurgen Habermas, di dalam masyarakat tradisional terdapat kaitan yang khusus antara kerangka kerja institusional dan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan. Perkembangan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan dijaga di dalam batas-batas legitimasi tradisi-tradisi kebudayaan. Apa yang oleh Karl Marx disebut kekuatan-kekuatan produksi, di dalam masyarakat tradisional, masih di kebawahkan terhadap kerangka kerja institusional, yaitu penafsiran-penafsiran mitis, religius dan metafisis terhadap kenyataan.[3]

Melihat kenyataan itu, banyak kekurangan yang diterapkan sistem kapitalisme. Kaitannya dengan kompleksitas ideologi, Indonesia merupakan negara yang tidak jelas ideologinya. Indonesia bukan Negara sosialis karena pemilik modal baik asing maupun pribumi sangat mendominasi. Disebut Negara kapitalis juga tidak, karena Indonesia menganut ideologi Pancasila yang didengung-dengungkan pro sosial. Tetapi yang jelas masyarakat kita masih jauh dari kesejahteraan, ekonomi Indonesia masih belum pro rakyat, pembangunanpun masih dirasakan oleh kalangan menengah ke atas.

Dari sisi demokrasi, Indonesia akan mengalami pencerahan. Semua pihak sudah mulai terlihat eksistensinya baik dalam politik atau dalam bidang pembangunan. Dan yang paling mengagumkan dari demokrasi Indonesia adalah berdasar pada ke Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan pemahaman falsafah ke Tuhanan serta lebih lagi Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, tidak mungkin melepaskan nilai-nilai dasar keagamaan terutama Islam.

Masyarakat muslim Indonesia memunculkan Islam sebagai moderasi kehidupan karena dari sejak awal pemahaman Islam telah dibangun di atas pondasi pluralitas budaya. Terlebih lagi Islam dipahami umatnya di Indonesia selain sebagai ajaran tetapi juga tata nilai untuk segala sisi kehidupan termasuk masalah kenegaraan. Dalam konteks ini, Islam Indonesia tidak harus menjadi bendera yang dikerek oleh kelompok kemapanan Islam yang akhirnya memaksakan Islam supaya diterapkan secara formal dalam bentuk Negara Islam. Bagi Indonesia, tipe Negara Islam jelas tidak cocok karena terputus dari rantai sejarah dan budaya. Kita lihat kelompok militansi Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pasti mengalami pembaharuan dalam gerakannya karena tuntutan penyesuaian, kultur dan nalar agama masyarakat. Dalam hukum sejarah, seringkali idealisme formal agama tidak terlepas dari kepentingan penguasa. Padahal penguasa bukan representasi masyarakat. Karenanya, tipe gerakan seperti ini dituntut untuk mengadakan pembaharuan.

Indonesia bukan Negara Islam dan perjuangan mengarah ke Negara Islam pun berat diaplikasikan tetapi Indonesia adalah Negara yang berketuhanan, yang begitu kuat menggunakan nalar keagamaan terutama nalar Islam. Masyarakat Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Islamnya memiliki nalar agama yang kuat. Selain itu, nalar agama juga terpatri dalam nalar budaya. Kekuatan ini bisa diandalkan guna menghimpun kekuatan untuk membangun sikap kritis yang konstruktif terhadap pemegang kekuasaan karena bagaimanapun kekuasaan itu dekat dengan korup. Selain itu, nalar Islam tentang kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat harus diaplikasikan. Tetapi sayangnya di Indonesia kekuatan-kekuatan masa yang berbasis agama masih terlalu didominasi oleh orang-orang yang berkepentingan. Partai-partai Islam hanya bicara berkutat di sekitar ideologi dan formalisasi syariah sementara esensi dari ajaran Islam tentang keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan tidak diaplikasikan.



[1] Yang dimaksud oleh penulis bahwa Islam tidak terpisahkan dari ajaran masalah ekonomi, politik dan budaya adalah Islam memiliki nilai yang sempurna tentang ekonomi, politik dan budaya. Nilai pada esensinya memiliki sifat kritis terhadap realitas termasuk mengenai kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, sangat tidak mungkin kekuatan nalar agama dipisahkan dari permasalahan kebangsaan termasuk di dalamnya masalah ekonomi, politik dan budaya.

[2] Wahid, A, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta, The Wahid Institute, 2006, cet. II, hal. 51.

[3] Hardiman, FB, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Jogjakarta, Penerbit Buku Baik, 2003, hal. 106.

KRITIK ATAS NEGARA BANGSA:

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN KALIM SIDDIQUI.

Gagasan negara bangsa secara genealogis dapat ditelisik pada sejarah eropa abad pertengahan dimana masyarakat eropa dikungkung oleh rezim teokrasi menindas, era ini juga dikenal dengan abad kegelapan (dark ages). Kekuasaan totalitarianistik gereja yang penuh dengan skandal dalam wilayah keagamaan dan moral membawa pembrontakan. hal itu di kobarkan bukan hanya karena institusi greja kehilangan legitimasi keagamaan tetapi juga disebabkan kerusakan tatanan kehidupan di seluruh aspeknya. Kezaliman penindasan, korupsi, kriminalitas terstruktur, degrasi moral, merantai membelenggu kreatifitas berfikir dan ilmu pengetahuan menjadi panorama kehidupan.

Pembrontakan ini pada awal nya secara populis berada dalam meansream kristian sendiri yaitu pendeklarasian atas Reformasi Gereja oleh Marthin Luther pada 1517 M, akan tetapi Reformasi yang demikian liar memberi jalan bagi kalangan ateis dan sekuler dalam kebebasan yang luas. Kebebasan luas ini kemudian menjadi belati terhus untuk menikam kekristenan..

Lahir nya pembrontakan merupakan ekspresi pembebasan diri dari belenggu penindasan sikap opresif teokratik institusi greja. Gelombang revolusi ini kemudian mewujud dalam bentuk pemisahan teritorial kerajaan-kerajaan lokal yang sebelum nya menyatu secara integral dibawah payung christendom. Kerajaan-kerajaan lokal yang terpisah kemudian mengikat diri dalam satu identitas kebangsaan tertentu yang sekarang kita kenal dengan negara bangsa. Negara bangsa yang lahir seperti ingris, prancis, spanyol, portugis, belanda, jerman dan lain nya.

Konsep nation state merupakan ide besar yang lahir sebagai suatu produk khazanah peradaban barat. Populisme gagasan negara bangsa marak dunia islam yang mencapai puncak nya di abad ke XX setelah Inggris,Prancis dan Rusia memecah Kekhilafahan Utsmaniyah menjadi negara bangsa yang “merdeka”, setidaknya lebih dari 50 negara bangsa muslim berdiri dengan mengorgnisir kekuasaannya secara terpisah.

Keterpecah-belahan ini menimbulkan gelombang kritik yang masif disamping dukungan yang tak kalah populis. gelombang kritik ini berasal dari kaum muslimin secara luas terutama dari kalangan revivalis atau islamist. kritik itu didasarkan bahwa islam berbeda dengan kristen, lebih meyakinkan lagi apa yang menimpa sejarah eropa kristen jauh dari apa yang dipraktikkan kaum muslimin. faktor penyebab runtuhnya kekristenan seperti permusuhan teologi kristen terhadap ilmu pengetahuan tidak terjadi pada kaum muslimin dan memang bukan merupakan tabiat islam. Diperkuat dengan konsep kekhilafahan atau Imamah sebagai identitaas Ummah sulit untuk dilupkan. Konsep penyatuan ummah mengakar kuat dalam tradisi islam. Inilah yang memunculkan keterasingan setelah kedatangan alam baru yang dinamakan Negara Bangsa.

Nasionalisme yang menjadi ruh dari nation stete bukanlah merupakan gagasan yang datang “bertamu” secara alamiah dan terhormat, tetapi melalui penanaman nilai dan gagasan dalam proses kolonialisasi yang buas. Berikut petikan yang menggambarkan Nasinalisme dalam alam pikiran “islamist”;

tidak muncul di dunia islam secara alamiah, juga tidak muncul karena kesulitan-kesulitan yang yang dihadapi rakyat, juga bukan karena perasaan prustasi kaum muslimin ketika orang eropa mulai mendominasi dunia setelah terjadinya revolusi industri. Akan tetapi karena nasionalisme dihujamkan kedalam benak kaum muslimin melalui rekayasa yang tersusun rapi dan dilakukan dengan hati-hati oleh kekuatan eropa, karena mereka gagal menghancurkan mereka melalui kekuatan fisik( perang saliib)[1]

Nasionalisme menjadi ide yang asing . disampng itu kaum muslimin tidak pernah berada dalam kondisi terpecah belah, tertindas, mengalami stagnasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbagai bentuk krisis seperti yang terjadi saat ini. Nasionalisme merupakan konsep yang berbahaya yang exitensinya tetap dipertahankan oleh imprealis. Anggapan ini bukan mitos yang dilontarkan demi propaganda politik sempit, setidaknya hal itu beralasan dengan pernyataan para kolonialis berikut ini;[2]

“Turkistan, afganistan,Transkaspia, Persia menurut orang-orang nama-nama ini hanyalah menggambarkan keterpencilan…..tapi bagi saya, saya akui nama-nama itu merupakan pion-pioan di papan catur yang padanya di mainkan segala permainan untuk mendominasi dunia.” (george curzon; persian and the persian question, london: frank crass,, vol I, hal 3-4)

“kami tidak dipilih atau didudukkan pada singgasana kekuasaan oleh penduduk pribumi tetapi kami ada disini karena rasa superioritas kami dan karena paksaan lingkungan dan juga karena keinginan kamiuntuk mendapatkan pemeliharaan yang baikoleh tuhan. Hal ini yang mendasari langkah kami untuk menguasai dan memerintah india. Dalam melaksanakan yang terbaik buat rakyat kami terikat kesadaran kami bukannya kesadaran mereka”(john lawrence: Viceroy of India, 1864-9)

More tradisional religious leaders like sayyid Abul Hassan Ali Nadwi of the nadwat-i-Ulama Seminary in Lucknow; Maulana Abu ‘Ala al-Maududi, who later founded the Jamaat-i-Islamiin Pakistan;and the majority of India’s ulama argued that nationalism and Islam were antithetical idiologies. Nationalism was condemned as a particularism that complicted with Islamic universalism. It was a Wastren-bred phenomenon rooted “in narrow national feeling, rasial prejudice, and the esaggerated regard for geographical division(which)are the characteristics of the westren mind. In contrast, islam, they maintained, teaches that all belong to a single, universal community governed by God’s law: be it in the sphere of economics or politicor civics or legal rights and duties anything else, those who accept the principle of islamare not devidetby any distinctionof nationality,of class, or country. Therfore, any form of nationalism, was rejected.[3]

Sharia (Arabic شريعة also Sharia, Shariah or Syariah) is traditional Islamic law. ...

Sejumlah partai politik berbentuk movement dan kelompok-kelompok gerilyawan islam telah menyatakan diri untuk merestorasi kekhilafahan dengan menyatukan bangsa-bangsa muslim baik melalui aksi-aksi politik damai separti Hizb ut-Tahrir atau melalui kekuatan fisik seperti al-Qaedah. Islamist movement telah mengambil tujuan akhir yaitu pendirian Kekhilafahan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi bersamaan mereka mengkritik gagasan negara bangsa muslim sebagai penghalang penyatuan ummah.

Al-Qaedah yang berjuang menggunakan kekuatan fisik digambarkan memiliki visi berikut:Guerilla may refer to Guerrilla warfare. ...

One of al-Qaeda's clearly stated goals is the re-establishment of a caliphate. Bin Laden has called for Muslims to "establish the righteous caliphate of our umma." Al Qaeda recently named its Internet newscast from Iraq "The Voice of the Caliphate." Al-Qaeda is the name given to a worldwide network of militant Islamist organizations under the leadership of Osama bin Lade.” [4]

Di pakistan Tanzeem-e-Islam sebuah organisasi Islamist yang didirikan oleh Dr. Israr Ahmed, telah juga turut menyuarakan kekhilafahan. Israr Ahmed dikenal baik sebagai Figur cendikiawan muslim di Pakistan, India, Timur Tengah dan Amerika utara

Ikhwanul Muslimin dengan serta merta mendukung penyatuan dalam wadah Pan-Islam dan implementasi Syariah, gerakan ini merupakan gerakan yang paling besar dan paling berpangaruh di dunia. Cabang-cabang nya telah menjadi partai opososo di sebagian besar negara-negara Arab. Pendirinya Hasan al-Banna telah menulis satu tema tentang restorasi Khilafah.

Hizb ut-Tahrir telah merekrut kaum muslimin di selruh dunia demi pembaharuan kekhilafahan, tujuan akhir nya membentuk pemerinthan Pan-Islam. Hizb ut-Tahrir bersifat internasional, lahir dari dunia sunni dan partai politik Pan-Ialamisme barisan depan yang bertujuan menyatukan negara-negara muslim dalam sebuah kesatuan negara islam atau dikenal dengan isltilah Khilafah, Diatur oleh hukum syariah dan dipimpin oleh seorang pemimpin negara terpilih (khalifah)

Gerakan islam dengan paradigma islamist ini bukan hanya berlatar belakan pendidikan di madrasah-madrasah timur namun seruan-seruan mereka juga disambut oleh para intelektual didikan barat dalam beragam spesialisasi. Mereka didukung dengan perngkat-perangkat sain moderen dalam mengapresiasi atau menolak suatu gagasan. Instrumen ini menjadi perangkat penting bagi gerkan islam untuk melakukan kritik secara elegan dan proporsional terhadap khazanah peradaban barat. Betapa tidak kritik tanpa memahami atau berinteraksi dengan objek kritik merupakan kesesatan dan panatisme buta.

Akhbar S Ahmed, dalam bukunya, Posmodernisme; Bahaya dan Harapan Bagi Islam, mengklasifikasikan segi tiga kesarjanaan muslim yang masing-masing garis demarkasinya berbeda dalam memandang barat. “tradisionalis, modernis dan radikalis”. “Tradisionalis” adalah mereka yang memandang perlunya dialog antara islam dan barat karena diantara keduanya terdapat “universalisme pesan tuhan” dan “dialog antar iman”. lain halnya dengan “modernis” yang menganggap agama tidak lagi relevan untuk dijadikan kekuatan obat mujarab atau bimbingan. Disisi lain mereka banyak bergaul dengan ideologi-ideologi “pencerahan eropa”, seperti marxisme, sosialisme atau sekulerisme.sedangkan “radikalis”adalah mereka yang sudah kehilangan kesabaran terhadap barat dan menolak para tradisionalis. Mereka menjadikan barat sebagai rivalitas. Termasu kedalam kategori “tradisionalis” seperti Ismail R. al-Faruqi, Ali Syari’ati, S. hossein Nasr, Ali Ashraf dan Fazlur Rahman. Kalangan Modernis direferesentasikan oleh nama-nama seperti Hamzah Alavi, Ekbal Ahmad, Hanief Qureishi, Tariq Ali dan Salaman Rushdie. Sedangkan kalangan rdikalis diwakili oleh nama-nama sseperti Shabir Akhtar, Parvez Manzoor, Ziaudin Sardar, M.W Davies dan Kalim Siddiqui.[5]

Dikotomi yang diajukan Akbar tentu sebagaimana yana sering terjadi dalam ilmu-ilmu humaniora mengalami persoalan tolak ukur dan rigiditas dalam pengklasifikasian. Sehingga bisa saja ada pihak yang tidak sepakat dengan pengklasifikasian ini baik karna tidak sepakat dengan pendefinisian istilah-istilah yang didikotomikan maupun karena istilah Tradisonalis, modernis dan radikalis telah mengalami proses peyoratif dari makna kamus menuju makna politik. tulisan ini menerima dikotomi ini dengan tunduk pada pola deduksi yang digunakan akbar. bisa jadi contoh-contoh yang ada menjadi tidak relevan ketika menggunakan definisi dan pola deduksi yang lain, Ini merupakan antisipasi persoalan pertama. sedangkan untuk pergeseran peyoratif yang terjadi, tulisan ini akan dihiasi oleh bertebaran tanda petik untuk menunda proses monopoli pemaknaan yang rentan dengan prasangka ketika istilah-istilah tersebut terjun keranah politik.

Intelektual yang diajukan oleh Akhbar S. Ahmed merupakan intelektual muslim yang secara akademis memiliki titel kesarjanaan barat. Sehingga dengan spesialisasi yang dimiliki, setidaknya secara background akademik memiliki kapabilitas dan kepantasan untuk memberi perspektive terhadap khazanah peradaban barat.

kalim siddiqui layak untuk dibahas sebagai representasi dari voice of islamist. Layak artinya kalim merupakan anak muslim yang pernah merasakan alam kesadaran islamist karena kalim pernah bergabung bersama Khilafat Movement di anak benua India.disisi lain kalim adalah intelekual didikan barat, dia mendapat gelar Ph.D dari UCL(university college of london) dalam spesialisasi International Relationship,serta pernah berkiprah sebagai wartawan media paling bergengsi di ingris, Guardian. Sisi inilah yang kita harapkan dapat melihat secara dekat barat dan memberi kritik yang tepat. Yang pada tulisan ini akan mengurai kritik kalim siddiqui terhadap negara bangsa muslim, kritik tersebut mewakili intelektual yang merekonstuk gagasan yang menggurita dalam alam pikiran gerakan-gerakan islam.



[1] (Shabir ahmed &abid karim, akar Nasionalisme di Dunia Islam,terj:Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, bangil, al-Izzah, 1997, hal 3

[2] (Shabir ahmed &abid karim, akar Nasionalisme di Dunia Islam,terj:Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, bangil, al-Izzah, 1997, hal 4)

[3] (John L.Esposito, Islam and Politic,-, fourth edition,hal 94)

[4] www.nationmaster.com/encyclopedia/Caliphate - 2

[5] Kalim Siddiqui, seruan-seruan Islam; Tanggung-Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syari’at, (penerj: Ahmad Affandi&Humaidi dari buku; In Pursuit of the Power of Islam), yogyakarta;Pustaka Pelajar,2002. cet I, cover belakang


IBNU KHALDUN SEBAGAI BAPAK EKONOMI

Pendahuluan

Marak dan berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmwuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan, khususnya ketika mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta, ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa klasik hingga saat ini.

Melihat berlimpahnya literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan. Pertama, Dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu, tak satupun di antaranya ada hasil karya tokoh Indonesia. Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic Economics and Finance : A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan (1995). Buku ini berisi 1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian pula daftar buku dalam Muslim Economic Thinking tulisan Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, yang meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya ulama Indonesia.

Kedua, Yang paling disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam yang telah dirintis dan dibangun oleh para ulama terdahulu. Intelektual dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemkiran Islam dan tasawuf, di samping ilmu-ilmu tafsir dan hadits. Maka tak heran jika mereka dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik. Fenomena itulah yang disesalkan Prof.Dr. Muhammad Nejatyullah Ash-Shiddiqy, guru besar ekonomi Univ.King Abdul Aziz Saudi . Ia mengatakan,

“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)

(Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18), kita memiliki kesibambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi).

Di masa klasik Islam, yang sejak abad 2 Hijrah s/d 9 Hijriyah, banyak lahir ilmuwan Islam yang mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand), public finance, kebijakan fiskal dan moneter, Pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului pemikir Barat modern seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus.

Bapak Ekonomi

Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun.(1962) Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.

Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.

Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.

Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc. He discussses the various stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour (Shiddiqy, 1976, hlm. 261).

(Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur,).

Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, menuturkan :

Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation….(Boulokia, 1971)

(Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…)”

Lafter, penasehat economi president Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.

S.Colosia berkata dalam bukunya, Constribution A L’Etude D’Ibnu Khaldaun Revue Do Monde Musulman, sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan, ”Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974, hlm.477)

Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi. Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)

Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam bidang ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun’s Writing dan Nasha’t menulis “al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun).. Selain itu kita masih memiliki kontribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fi’l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma’ashi khayalat”, (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifa’at menulis Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture”, Abdul Sattar menulis buku Ibn Khaldun’s Contribution to Economic Thought” in: Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam.

Penutup

Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation.. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar ummat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secarfa detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku.

AKAR KRISIS KEUANGAN GLOBAL

Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.

Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.

Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?

Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.

Riba sebagai puncak krisis

Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.

Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”

Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)

Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya mengenalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.

Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Macam Krisis Finansial

Krisis Keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.

Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.

Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).

Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.

Hindari Maghrib

Ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.

Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah

Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.

Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.

Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.

Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.

Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.

Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.

Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..

Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.

Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

Kesadaran ekonom dan negara maju

Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).

Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.

Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.

Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..

Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.

Penutup

Akar krisis keuangan global yang terjadi saat ini adalah praktik riba, maysir, dan gharar yang menjadi fenomena kapitalisme baik di pasar uang maupun pasar modal. Ekonomi kapitalisme yang tidak memisahkan sektor moneter dan riil berakibat pada penciptaan bubble economy yang sangat rawan menimbulkan krisis. Sedangkan ekonomi syariah tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riel.

Ekonomi syariah mendorong adanya standarisasi currency internasional yang tidak lagi berbasis fiat money, tetapi emas dan perak. Emas dan perak dalam ekonomi Islam adalah hakim yang adil yang akan mengurangi spekulasi, akan mewujudkan tingkat stabilitas keuangan dan menekan inflasi secara signifikan.

Diserukan kepada para pemimpin dunia, para pakar ekonomi dan praktisi ekonomi keuangan dunia, untuk tidak meneruskan kegiatan ekonomi spekulasi, gharar dan riba baik di money market maupun capital market, Jika praktik itu masih terus dijalankan, maka krisis demi krisis pasti akan terjadi secara terus menerus.

Pemerintah diharapkan lebih akomodatif terhadap ekonomi syariah, karena ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan kesejahteraan, stabilitas ekonomi, dan inflasi. Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah.

Konkritnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia.