Kamis, 24 Desember 2009

KRITIK ATAS NEGARA BANGSA:

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN KALIM SIDDIQUI.

Gagasan negara bangsa secara genealogis dapat ditelisik pada sejarah eropa abad pertengahan dimana masyarakat eropa dikungkung oleh rezim teokrasi menindas, era ini juga dikenal dengan abad kegelapan (dark ages). Kekuasaan totalitarianistik gereja yang penuh dengan skandal dalam wilayah keagamaan dan moral membawa pembrontakan. hal itu di kobarkan bukan hanya karena institusi greja kehilangan legitimasi keagamaan tetapi juga disebabkan kerusakan tatanan kehidupan di seluruh aspeknya. Kezaliman penindasan, korupsi, kriminalitas terstruktur, degrasi moral, merantai membelenggu kreatifitas berfikir dan ilmu pengetahuan menjadi panorama kehidupan.

Pembrontakan ini pada awal nya secara populis berada dalam meansream kristian sendiri yaitu pendeklarasian atas Reformasi Gereja oleh Marthin Luther pada 1517 M, akan tetapi Reformasi yang demikian liar memberi jalan bagi kalangan ateis dan sekuler dalam kebebasan yang luas. Kebebasan luas ini kemudian menjadi belati terhus untuk menikam kekristenan..

Lahir nya pembrontakan merupakan ekspresi pembebasan diri dari belenggu penindasan sikap opresif teokratik institusi greja. Gelombang revolusi ini kemudian mewujud dalam bentuk pemisahan teritorial kerajaan-kerajaan lokal yang sebelum nya menyatu secara integral dibawah payung christendom. Kerajaan-kerajaan lokal yang terpisah kemudian mengikat diri dalam satu identitas kebangsaan tertentu yang sekarang kita kenal dengan negara bangsa. Negara bangsa yang lahir seperti ingris, prancis, spanyol, portugis, belanda, jerman dan lain nya.

Konsep nation state merupakan ide besar yang lahir sebagai suatu produk khazanah peradaban barat. Populisme gagasan negara bangsa marak dunia islam yang mencapai puncak nya di abad ke XX setelah Inggris,Prancis dan Rusia memecah Kekhilafahan Utsmaniyah menjadi negara bangsa yang “merdeka”, setidaknya lebih dari 50 negara bangsa muslim berdiri dengan mengorgnisir kekuasaannya secara terpisah.

Keterpecah-belahan ini menimbulkan gelombang kritik yang masif disamping dukungan yang tak kalah populis. gelombang kritik ini berasal dari kaum muslimin secara luas terutama dari kalangan revivalis atau islamist. kritik itu didasarkan bahwa islam berbeda dengan kristen, lebih meyakinkan lagi apa yang menimpa sejarah eropa kristen jauh dari apa yang dipraktikkan kaum muslimin. faktor penyebab runtuhnya kekristenan seperti permusuhan teologi kristen terhadap ilmu pengetahuan tidak terjadi pada kaum muslimin dan memang bukan merupakan tabiat islam. Diperkuat dengan konsep kekhilafahan atau Imamah sebagai identitaas Ummah sulit untuk dilupkan. Konsep penyatuan ummah mengakar kuat dalam tradisi islam. Inilah yang memunculkan keterasingan setelah kedatangan alam baru yang dinamakan Negara Bangsa.

Nasionalisme yang menjadi ruh dari nation stete bukanlah merupakan gagasan yang datang “bertamu” secara alamiah dan terhormat, tetapi melalui penanaman nilai dan gagasan dalam proses kolonialisasi yang buas. Berikut petikan yang menggambarkan Nasinalisme dalam alam pikiran “islamist”;

tidak muncul di dunia islam secara alamiah, juga tidak muncul karena kesulitan-kesulitan yang yang dihadapi rakyat, juga bukan karena perasaan prustasi kaum muslimin ketika orang eropa mulai mendominasi dunia setelah terjadinya revolusi industri. Akan tetapi karena nasionalisme dihujamkan kedalam benak kaum muslimin melalui rekayasa yang tersusun rapi dan dilakukan dengan hati-hati oleh kekuatan eropa, karena mereka gagal menghancurkan mereka melalui kekuatan fisik( perang saliib)[1]

Nasionalisme menjadi ide yang asing . disampng itu kaum muslimin tidak pernah berada dalam kondisi terpecah belah, tertindas, mengalami stagnasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbagai bentuk krisis seperti yang terjadi saat ini. Nasionalisme merupakan konsep yang berbahaya yang exitensinya tetap dipertahankan oleh imprealis. Anggapan ini bukan mitos yang dilontarkan demi propaganda politik sempit, setidaknya hal itu beralasan dengan pernyataan para kolonialis berikut ini;[2]

“Turkistan, afganistan,Transkaspia, Persia menurut orang-orang nama-nama ini hanyalah menggambarkan keterpencilan…..tapi bagi saya, saya akui nama-nama itu merupakan pion-pioan di papan catur yang padanya di mainkan segala permainan untuk mendominasi dunia.” (george curzon; persian and the persian question, london: frank crass,, vol I, hal 3-4)

“kami tidak dipilih atau didudukkan pada singgasana kekuasaan oleh penduduk pribumi tetapi kami ada disini karena rasa superioritas kami dan karena paksaan lingkungan dan juga karena keinginan kamiuntuk mendapatkan pemeliharaan yang baikoleh tuhan. Hal ini yang mendasari langkah kami untuk menguasai dan memerintah india. Dalam melaksanakan yang terbaik buat rakyat kami terikat kesadaran kami bukannya kesadaran mereka”(john lawrence: Viceroy of India, 1864-9)

More tradisional religious leaders like sayyid Abul Hassan Ali Nadwi of the nadwat-i-Ulama Seminary in Lucknow; Maulana Abu ‘Ala al-Maududi, who later founded the Jamaat-i-Islamiin Pakistan;and the majority of India’s ulama argued that nationalism and Islam were antithetical idiologies. Nationalism was condemned as a particularism that complicted with Islamic universalism. It was a Wastren-bred phenomenon rooted “in narrow national feeling, rasial prejudice, and the esaggerated regard for geographical division(which)are the characteristics of the westren mind. In contrast, islam, they maintained, teaches that all belong to a single, universal community governed by God’s law: be it in the sphere of economics or politicor civics or legal rights and duties anything else, those who accept the principle of islamare not devidetby any distinctionof nationality,of class, or country. Therfore, any form of nationalism, was rejected.[3]

Sharia (Arabic شريعة also Sharia, Shariah or Syariah) is traditional Islamic law. ...

Sejumlah partai politik berbentuk movement dan kelompok-kelompok gerilyawan islam telah menyatakan diri untuk merestorasi kekhilafahan dengan menyatukan bangsa-bangsa muslim baik melalui aksi-aksi politik damai separti Hizb ut-Tahrir atau melalui kekuatan fisik seperti al-Qaedah. Islamist movement telah mengambil tujuan akhir yaitu pendirian Kekhilafahan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi bersamaan mereka mengkritik gagasan negara bangsa muslim sebagai penghalang penyatuan ummah.

Al-Qaedah yang berjuang menggunakan kekuatan fisik digambarkan memiliki visi berikut:Guerilla may refer to Guerrilla warfare. ...

One of al-Qaeda's clearly stated goals is the re-establishment of a caliphate. Bin Laden has called for Muslims to "establish the righteous caliphate of our umma." Al Qaeda recently named its Internet newscast from Iraq "The Voice of the Caliphate." Al-Qaeda is the name given to a worldwide network of militant Islamist organizations under the leadership of Osama bin Lade.” [4]

Di pakistan Tanzeem-e-Islam sebuah organisasi Islamist yang didirikan oleh Dr. Israr Ahmed, telah juga turut menyuarakan kekhilafahan. Israr Ahmed dikenal baik sebagai Figur cendikiawan muslim di Pakistan, India, Timur Tengah dan Amerika utara

Ikhwanul Muslimin dengan serta merta mendukung penyatuan dalam wadah Pan-Islam dan implementasi Syariah, gerakan ini merupakan gerakan yang paling besar dan paling berpangaruh di dunia. Cabang-cabang nya telah menjadi partai opososo di sebagian besar negara-negara Arab. Pendirinya Hasan al-Banna telah menulis satu tema tentang restorasi Khilafah.

Hizb ut-Tahrir telah merekrut kaum muslimin di selruh dunia demi pembaharuan kekhilafahan, tujuan akhir nya membentuk pemerinthan Pan-Islam. Hizb ut-Tahrir bersifat internasional, lahir dari dunia sunni dan partai politik Pan-Ialamisme barisan depan yang bertujuan menyatukan negara-negara muslim dalam sebuah kesatuan negara islam atau dikenal dengan isltilah Khilafah, Diatur oleh hukum syariah dan dipimpin oleh seorang pemimpin negara terpilih (khalifah)

Gerakan islam dengan paradigma islamist ini bukan hanya berlatar belakan pendidikan di madrasah-madrasah timur namun seruan-seruan mereka juga disambut oleh para intelektual didikan barat dalam beragam spesialisasi. Mereka didukung dengan perngkat-perangkat sain moderen dalam mengapresiasi atau menolak suatu gagasan. Instrumen ini menjadi perangkat penting bagi gerkan islam untuk melakukan kritik secara elegan dan proporsional terhadap khazanah peradaban barat. Betapa tidak kritik tanpa memahami atau berinteraksi dengan objek kritik merupakan kesesatan dan panatisme buta.

Akhbar S Ahmed, dalam bukunya, Posmodernisme; Bahaya dan Harapan Bagi Islam, mengklasifikasikan segi tiga kesarjanaan muslim yang masing-masing garis demarkasinya berbeda dalam memandang barat. “tradisionalis, modernis dan radikalis”. “Tradisionalis” adalah mereka yang memandang perlunya dialog antara islam dan barat karena diantara keduanya terdapat “universalisme pesan tuhan” dan “dialog antar iman”. lain halnya dengan “modernis” yang menganggap agama tidak lagi relevan untuk dijadikan kekuatan obat mujarab atau bimbingan. Disisi lain mereka banyak bergaul dengan ideologi-ideologi “pencerahan eropa”, seperti marxisme, sosialisme atau sekulerisme.sedangkan “radikalis”adalah mereka yang sudah kehilangan kesabaran terhadap barat dan menolak para tradisionalis. Mereka menjadikan barat sebagai rivalitas. Termasu kedalam kategori “tradisionalis” seperti Ismail R. al-Faruqi, Ali Syari’ati, S. hossein Nasr, Ali Ashraf dan Fazlur Rahman. Kalangan Modernis direferesentasikan oleh nama-nama seperti Hamzah Alavi, Ekbal Ahmad, Hanief Qureishi, Tariq Ali dan Salaman Rushdie. Sedangkan kalangan rdikalis diwakili oleh nama-nama sseperti Shabir Akhtar, Parvez Manzoor, Ziaudin Sardar, M.W Davies dan Kalim Siddiqui.[5]

Dikotomi yang diajukan Akbar tentu sebagaimana yana sering terjadi dalam ilmu-ilmu humaniora mengalami persoalan tolak ukur dan rigiditas dalam pengklasifikasian. Sehingga bisa saja ada pihak yang tidak sepakat dengan pengklasifikasian ini baik karna tidak sepakat dengan pendefinisian istilah-istilah yang didikotomikan maupun karena istilah Tradisonalis, modernis dan radikalis telah mengalami proses peyoratif dari makna kamus menuju makna politik. tulisan ini menerima dikotomi ini dengan tunduk pada pola deduksi yang digunakan akbar. bisa jadi contoh-contoh yang ada menjadi tidak relevan ketika menggunakan definisi dan pola deduksi yang lain, Ini merupakan antisipasi persoalan pertama. sedangkan untuk pergeseran peyoratif yang terjadi, tulisan ini akan dihiasi oleh bertebaran tanda petik untuk menunda proses monopoli pemaknaan yang rentan dengan prasangka ketika istilah-istilah tersebut terjun keranah politik.

Intelektual yang diajukan oleh Akhbar S. Ahmed merupakan intelektual muslim yang secara akademis memiliki titel kesarjanaan barat. Sehingga dengan spesialisasi yang dimiliki, setidaknya secara background akademik memiliki kapabilitas dan kepantasan untuk memberi perspektive terhadap khazanah peradaban barat.

kalim siddiqui layak untuk dibahas sebagai representasi dari voice of islamist. Layak artinya kalim merupakan anak muslim yang pernah merasakan alam kesadaran islamist karena kalim pernah bergabung bersama Khilafat Movement di anak benua India.disisi lain kalim adalah intelekual didikan barat, dia mendapat gelar Ph.D dari UCL(university college of london) dalam spesialisasi International Relationship,serta pernah berkiprah sebagai wartawan media paling bergengsi di ingris, Guardian. Sisi inilah yang kita harapkan dapat melihat secara dekat barat dan memberi kritik yang tepat. Yang pada tulisan ini akan mengurai kritik kalim siddiqui terhadap negara bangsa muslim, kritik tersebut mewakili intelektual yang merekonstuk gagasan yang menggurita dalam alam pikiran gerakan-gerakan islam.



[1] (Shabir ahmed &abid karim, akar Nasionalisme di Dunia Islam,terj:Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, bangil, al-Izzah, 1997, hal 3

[2] (Shabir ahmed &abid karim, akar Nasionalisme di Dunia Islam,terj:Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, bangil, al-Izzah, 1997, hal 4)

[3] (John L.Esposito, Islam and Politic,-, fourth edition,hal 94)

[4] www.nationmaster.com/encyclopedia/Caliphate - 2

[5] Kalim Siddiqui, seruan-seruan Islam; Tanggung-Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syari’at, (penerj: Ahmad Affandi&Humaidi dari buku; In Pursuit of the Power of Islam), yogyakarta;Pustaka Pelajar,2002. cet I, cover belakang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar