Kamis, 07 Januari 2010

Menggugat UU BHP

Oleh: Jhon Rivel Purba*


Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, ketakutan, kemiskinan, penindasan, dan permasalahan lain yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Artinya pendidikan hadir untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak terlepas dari peran pendidikan yang telah membentuk kesadaran kritis melihat persoalan yang ada. Kesadaran tersebut menjadi api perjuangan membebaskan rakyat yang tertindas akibat penjajahan. Setelah negeri ini merdeka, para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan sangat penting dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sehingga salah satu cita-cita kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pendidikan adalah hak warga negara, tanpa memandang status, termasuk status ekonomi.

Negara harus memudahkan masyarakat mendapat pendidikan bermutu, ilmiah dan demokratis. Memang tidak sedikit upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan kita. Namun kalau kita melihat secara kritis, upaya tersebut seringkali tidak mempunyai pijakan yang jelas, tujuan yang kabur, target yang tidak logis, cara yang salah, pengelolaan yang amburadul, sehingga hasilnya pun tidak jelas juga.


UU BHP: Bukan Solusi

Di tengah-tengah kebobrokan sistem pendidikan Indonesia, pemerintah kembali menawarkan solusi perbaikan pendidikan. Setelah sekian lama pemerintah gonta-ganti kebijakan, yang tidak pernah mampu menjawab persoalan pendidikan, akhirnya pada 17 Desember 2008, disahkan UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, atau disingkat dengan UU BHP.

Undang-undang ini menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sebelum disahkan, sudah banyak aksi protes yang disuarakan oleh tokoh pendidikan, mahasiswa, LSM, dan pihak yang peduli terhadap pendidikan. Sialnya, pemerintah bersama legislatif tetap mensahkannya, dan terkesan buru-buru.

Aksi penolakan UU BHP akhir-akhir ini mulai menurun karena perhatian masyarakat terfokus pada pemilu 2009. Padahal, persoalan pendidikan adalah hal yang paling penting dan mendesak segera diatasi. Pendidikanlah dasar pembangunan negara. Sementara pemilu hanyalah pertarungan kekuasaan yang dinikmati segelintir orang, yaitu penguasa dan pemodal.

Ada beberapa alasan menggugat UU BHP. Pertama, UU BHP bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang ini merupakan turunan dari pasal 53 UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Pemerintah harus memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara dan memenuhi anggaran 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan. Anggaran pendidikan yang 20 persen tidak ada ditatur dalam UU BHP.

Kedua, tidak bisa menjawab persoalan pendidikan. UU BHP hanya membahas masalah-masalah teknis dalam pendidikan, yaitu pendanaan. Padahal yang terpenting dalam lembaga pendidikan adalah bagaimana menghasilkan subjek-subjek sadar yang mempunyai semangat nasionalisme, kepedulian sosial, kemandirian, dan karakter yang baik. Tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan koruptor, politisi busuk, penjahat HAM, pelaku kekerasan. Namun, mengapa banyak di negeri ini orang seperti itu? Hal tersebut jelas-jelas kegagalan lembaga pendidikan, dan inilah yang harus diperbaiki.

Ketiga, melegalisasi komersialisasi pendidikan. Otonomi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan ini akan semakin memperlebar kesenjangan dalam dunia pendidikan kita. Lembaga pendidikan akan berlomba-lomba mencari dana guna mempertahankan dan mengembangkan lembaganya masing-masing. Lembaga pendidikan yang tidak mampu bersaing akan bubar sendiri atau menggabungkan diri dengan BHP yang lain.

Komersialisasi pendidikan sudah terjadi pada beberapa PTN yang berstatus PT BHMN sejak 1999. Hal ini sangat jelas terlihat dalam penerimaan mahasiswa baru, penggunaan fasilitas kampus, dan pengelolaan usaha. Kampus membuka jalur-jalur khusus seperti jalur mandiri, internasional dan jalur lain dengan biaya kuliah yang sangat mahal. Tentunya orang yang bisa mengikutinya hanyalah orang-orang kaya. Semakin besar mahasiswa yang diterima melalui jalur khusus tersebut maka semakin kecil kesempatan orang menengah ke bawah mengakses pendidikan.

Fasilitas kampus yang seharusnya diperuntukkan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitas berubah fungsi menjadi alat mencari keuntungan. Fasilitas dijadikan barang dagangan melalui penyewaan yang cukup memberatkan mahasiswa. Selain itu, kampus lebih disibukkan mencari keuntungan melalui usaha yang dikelolanya daripada mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Hal ini juga terjadi di USU yang resmi menjadi PT BHMN sejak tahun 2003.

Kondisi di atas akan semakin parah dengan diberlakukannya UU BHP. Kebijakan ini bukanlah solusi melainkan malapetaka dalam dunia pendidikan kita. Untuk itu, UU BHP harus dicabut kembali karena bertentangan dengan konstitusi dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Seandainya, Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, masih hidup, mungkin dia akan marah dan menangis menyaksikan kondisi pendidikan saat ini, termasuk dengan disahkannya UU BHP.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar